Senin, 07 November 2011

We are Not Presioners

Coba dan bayangin, seandainya waktu nggak berjalan, seandainya jarum jam dinding nggak berputar, apa yang terjadi? Mungkin kamu membayangkan sesuatu yang seram, seperti kiamat. Atau mungkin kamu juga sulit membayangkan karena begitu banyak prediksi-prediksi yang melintas di otakmu. Atau mungkin juga kamu nggak membayangkannya sama sekali. Banyak kemungkinan atau jawaban yang terlontar. Tapi bagi Ari, jawabannya sederhana: “Kita tidak lagi perlu susah payah ngapalin pelajaran sejarah!”. “Tanpa waktu, nggak ada yang namanya masa lalu, masa sekarang atau masa depan. Nggak ada lagi yang namanya kenangan, nggak ada pelajaran sejarah, antropologi, arkeologi, juga nggak ada lagi orang yang cemas mikirin masa depan. Yang jelas lagi, nggak ada pengangguran yang suka ngaku-ngaku tukang ramal.” Begitu pikirannya. Ari memang suka berpikir nyeleneh, suka ngaduk-ngaduk pikiran orang dengan pertanyaan atau pernyataan yang aneh. Karena itu pula banyak teman-temannya memanggil Ari dengan nama ‘Ari bocor’. Pernah waktu ulangan bahasa Indonesia, pada pertanyaan ‘apa makna dari kata kami dan kita?’ Ari menjawab: dua kata tersebut tidak memiliki makna apa-apa. Keduanya hanya kata-kata yang kosong tanpa makna. Tapi manusialah yang memberi makna pada kata-kata itu. Terus waktu ulangan kimia, karena nggak bisa menjawab pertanyaan yang rumit itu, Air pun menulis: ‘Hanya tuhan yang tahu jawaban soal ini.’ Celakanya, ketika hasil ulangan itu diberikan, Ari mendapatkan pesan dari guru yang menulis persis dibawah jawabannya, bunyinya: Dan hanya tuhan yang tahu nilai kamu. Kenakalan Ari memang sudah tersebar luas dilingkungan sekolah. Tidak hanya teman-temannya, bahkan para guru pun menilai Air murid yang aneh sekaligus super kritis. Misalnya waktu upacara bendera, Ari menolak mengikuti upacara tersebut. Akibatnya, Ari pun dijewer pak guru dan dibawa keruang BK (bimbingan konseling). Diruang itu, pak guru yang bijak itu bertanya, ”Kenapa kamu nggak mau mengikuti upacara bendera?” Ari, sambil takut-takut, bertanya, “Bukan saya tidak ingin mengikuti upacara bendera itu, pak. Hanya saja, upacara yang dilakukan setiap hari senin kurang mendidik. Apakah yang berdiri tegak dan sebelah tangan menghormat kepada bendera, merupakan jaminan kesetiaan kita pada Negara?” Untunglah pak guru adalah seorang yang bijak. Ari pun ‘DIBEBASKAN’. Tapi itu belum seberapa. Ari pernah mengirimkan pesan di dinding dalam segmen DU-DU (dari untuk, dari untuk). Isinya, dari: Gugun, untuk: Kepala Sekolah, DU: WE ARE NOT PRESIONERS (kami bukan tahanan). Ari langsung ‘diciduk’ dari kelasnya untuk menghadap kepala sekolah. “Apa maksud kamu menulis pesan tersebut di dinding?” bentak kepala sekolah sambil melotot. Ari menunduk, jari-jarinya terasa bergetar. “Kenapa diam? Kamu menulis itu bukan karena iseng, kan?” “Bukan, pak.” Jawab Ari takut-takut. “Lantas kenapa?” “Hmmmm.” Ari mengangkat sedikit wajahnya. “Sebenarnya saya cuma tidak suka kalau bapak terlalu banyak memberikan peraturan disekolah ini. Sebelumnya bapak memberikan peraturan bahwa anak-anak harus memakai sepatu berwarna hitam, setelah itu kami juga dilarang memakai kaos kaki selain yang warnanya putih. Setelah itu, apa bapak akan memberi peraturan yang mengharuskan kami mengikat sepatu dengan cara seperti yang bapak tentukan?” “Peraturan itu bapak ambil supaya kalian semua bisa rapih dan berdisiplin.” Tegas kepala sekolah. “Tapi disiplin dalam tingkat tertentu justru membuat sekolah ini seperti militer. Dan bapak, kan tahu sendiri bahwa militer cenderung otoriter, saya rasa itu hanya akan mematikan kreativitas. Lalu dengan sepatu dan kaos kaki yang sama apakah membuktikan bahwa seseorang memiliki rasa disiplin yang tnggi? Lagi pula, bukankah dalam pancasila tertulis Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu juga, pak?” Kepala sekolah pun berang. Ari disuruh berdiri dilapangan upacara hingga hari itu selesai. Sementara, kepala sekolah diam-diam tercekat pada alasan Ari tadi. Dan esok paginya tertera pengumuman yang ditulis dengan huruf-huruf besar: "Mulai hari ini siswa bebas memakai sepatu dan kaos kaki berwarna selain hitam dan putih". Tapi, tau nggak kepala sekolah, meski kagum sama sikap Ari, beliau tetap menghukum Ari? Jawabannya: untuk menjaga wibawa kepala sekolah!

Senin, 31 Oktober 2011

We Love PDGS (My New Design)

Hujan

Ini kisah seekor anak katak dengan ibunya. Suatu hari dua hewan ini berada ditengah hutan. Tiba-tiba langit mendung dan gelap gulita. Lalu si anak katak berkata, “Ibu, kenapa langit tiba-tiba gelap ? Apakah akan ada sesuatu yang membahayakan ?” Tanya si anak sambil menggelayut di lengan ibunya. Tampak kalau iya benar-benar ketakutan. “Tidak nak, ini bukan pertanda akan adanya bahaya. Tapi justru sebaliknya, itu pertanda baik.” Ujar ibunya berusaha menenangkan anaknya. Namun, tidak beberapa lama kemudian. Angin bertiup kencang hingga ranting-ranting pohon yang ada disana berjatuhan, patah dan hancur. Daun-daun berterbangan dihempas angin. Kontan si anak katak kembali ketakutan, “Ibu, itu apalagi? kenapa ranting-ranting itu patah? Kenapa daun-daun itu berserakan ? Apakah ini yang ibu bilang pertanda baik. Ibu aku takut .... Apakah kita akan seperti ranting itu, hancur dan berserakan? “ Teriaknya sambil memeluk erat ibunya. “Anakku sayang, itu cuma angin. Kamu tidak perlu takut. Sebab ada ibu disini,” Ucap si ibu menenangkan. “Nak, itu juga pertanda baik, sebab apa yang kita inginkan pasti akan segera datang. “ Ucapanya tidak sia-sia, anaknya pun kembali tenang. Kali ini ia mulai menikmati tiupan angin yang sempat membuatnya takut. Lalu. “Blarrr.... Blarrrrr... “ Suara petir menggelegar. Kilatan cahaya putih dan percikan api dilangit sana makin membuat suasana begitu menakutkan. Kali ini si anak katak tidak bisa lagi menyembunyikan ketakutannya. Ia tak mampu berkata apa-apa. Yang dilakukannya kini tidak Cuma merangkul ibunya. Tetapi juga bersembunyi dibalik tambunnya tubuh sang ibu. Sambil gemetar menahan takut ia berkata, ”Ibu, aku takut sekali. Apakah kita akan binasa, apakah dunia akan kiamat Bu.... ?” Katanya sambil memejamkan mata dan memeluk ibunya. “Jangan takut sayang, kamu harus sabar, nak.” Ucapanya sambil membelai anaknya. “itu Cuma petir. Dan petir adalah tanda terakhir bahwa apa yang kita harapkan. Akan segera terwujud ... Keluarlah nak. Kamu tidak perlu takut, lihatlah keluar sana, sambil bersyukur sebab sebentar lagi hujan akan turun. Ya, hujan, yang kita tunggu-tunggu tidak lama lagi akan membasahi bumi ini. “ Mendengar ucapan induknya, anak katak itupun pelan-pelan keluar dari peraduan. Diam-diam dia mendongakan kepalanya, melempar pandangan kesekitar. Ia mencoba memandangi langit yang makin mendung, menyimak angin yang masih bertiup dan sesekali menyaksikan kilat cahaya di atas sana. Lalu, benar saja hujan rintik-rintik mulai turun. Melihat air tumpah dari langit, iapun bersorak, “Ibu hujan turun, hujan datang, bu.... !!!!! Hore !” Teriaknya lantang sambil melompat-lompat. Sungguh sebuah ekspresi kebahagiaan yang amat sangat. ************************************************************************************************ Kisah dua ekor katak itu mengajarkan kita bahwa terkadang, anugerah atau impian yang kita harapkan baru akan terwujud setelah berbagai cobaan datang mengancam jiwa kita. Ia tidak datang diiringi dengan alunan musik yang merdu tapi justru suara-suara menakutkan. Dia tidak diantar oleh bidadari cantik nan rupawan, tapi justru diiringi oleh kegelapan dan ketakutan yang amat sangat. Itu artinya kebahagiaan yang kita reguk saat ini terwujud setelah banyak ujian mneghampiri, atau seperti yang ibu kartini bilang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Namun sayang, disaat ujian datang bertubi-tubi tidak sedikit manusia yang akhirnya kalah oleh keadaan dan hancur terbawa arus. Seperti halnya anak katak yang takut Cuma karena langit menghitam, angin bertiup kencang. Dan suara petir yang menggelegar. Padahal justru itulah tanda-tanda akan turun hujan. Semoga kita bisa menjadi seperti ibu si katak yang tetap tegar, menghadapi apapun yang terjadi dengan optimis, dan yakin bahwa dibalik ujian ada keberhasilan, dibalik cobaan akan ada kebahagiaan, dan bersama kekurangan akan ada kemudahan. Sebab kebahagiaan itu berjalan dengan kesedihan. Karena itu jangan takut melangkah dan jangan pernah lari dari kenyataan, tapi hadapi dengan kesabaran. Yakinlah bahwa dibalik kesukaran ada kemudahan, dibalik ujian ada keberhasilan dan dibalik cobaan ada kebahagiaan.

We are Not a Presioners

Rabu, 26 Oktober 2011

Airmata Untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi Aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika aku pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. ( Judul asli : I Cried for My Brother Six Time )

Senin, 24 Oktober 2011

Kepada Putriku

Putriku tercinta! Aku seorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun. Hilang sudah masa remaja, impian dan khayalan. Aku telah mengunjungi banyak negeri, dan berjumpa dengan banyak orang. Aku juga telah merasakan pahit getirnya dunia. Oleh karena itu dengarlan nasehat-nasehatku yang benar lagi jelas, berdasarkan pengalaman-pengalamanku, dimana engkau belum pernah mendengarnya dari orang lain. Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral, menghapus kejahatan dan mengekang hawa nafsu, sampai pena tumpul, dan mulut letih, dan kami tidak mengahasilkan apa-apa. Kemungkaran tidak dapat kami berantas, bahkan semakin bertambah, kerusakan telah mewabah, para wanita keluar dengan pakaian merangsang, terbuka bagian lengan, betis dan lehernya. Kami belum menemukan cara untuk memperbaiki, kami belum tahu jalannya. Sesungguhnya jalan kebaikan itu ada di depanmu, putriku! Kuncinya berada di tanganmu. Benar bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa, tetapi bila engkau tidak setuju, laki-laki itu tidak akan berani, dan andaikata bukan lantaran lemah gemulaimu, laki-laki tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu, kau katakan kepada si pencuri itu : silakan masuk … ketika ia telah mencuri, engkau berteriak : maling …! Tolong … tolong… saya kemalingan. Demi Allah … dalam khayalan seorang pemuda tak melihat gadis kecuali gadis itu telah ia telanjangi pakaiannya. Demi Allah … begitulah, jangan engkau percaya apa yang dikatakan laki-laki, bahwa ia tidak akan melihat gadis kecuali akhlak dan budi bahasanya. Ia akan berbicara kepadamu sebagai seorang sahabat. Demi Allah … ia telah bohong! Senyuman yang diberikan pemuda kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatian, semua itu tidak lain hanyalah merupakan perangkap rayuan ! setelah itu apa yang terjadi? Apa, wahai puteriku? Coba kau pikirkan! Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan, kemudian engkau ditinggalkan, dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tersebut akan mencari mangsa lain untuk diterkam kehormatannya, dan engakulah yang menanggung beban kehamilan dalam perutmu. Jiwamu menangis, keningmu tercoreng, selama hidupmu engkau akan tetap berkubang dalam kehinaan dan keaiban, masyarakat tidak akan mengampunimu selamanya. Bila engkau bertemu dengan pemuda, kau palingkan muka, dan menghindarinya. Apabila pengganggumu berbuat lancang lewat perkataan atau tangan yang usil, kau lepaskan sepatu dari kakimu lalu kau lemparkan ke kepalanya, bila semua ini engkau lakukan, maka semua orang di jalan akan membelamu. Setelah itu anak-anak nakal itu takkan mengganggu gadis-gadis lagi. Apabila anak laki-laki itu menginginkan kebaikan maka ia akan mendatangi orang tuamu untuk melamar. Cita-cita wanita tertinggi adalah perkawinan. Wanita, bagaimanapun juga status sosial, kekayaan, popularitas, dan prestasinya, sesuatu yang sangat didamba-dambakannya adalah menjadi isteri yang baik serta ibu rumah tangga yang terhormat. Tak ada seorangpun yang mau menikahi pelacur, sekalipun ia lelaki hidung belang, apabila akan menikah tidak akan memilih wanita jalang (nakal), akan tetapi ia akan memilih wanita yang baik karena ia tidak rela bila ibu rumah tangga dan ibu putera-puterinya adalah seorang wanita amoral. Sesungguhnya krisis perkawinan terjadi disebabkan kalian kaum wanita! Krisis perkawinan terjadi disebabkan perbuatan wanita-wanita asusila, sehingga para pemuda tidak membutuhkan isteri, akibatnya banyak para gadis berusia cukup untuk nikah tidak mendapatkan suami. Mengapa wanita-wanita yang baik belum juga sadar? Mengapa kalian tidak berusaha memberantas malapetaka ini? Kalianlah yang lebih patut dan lebih mampu daripada kaum laki-laki untuk melakukan usaha itu karena kalian telah mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka, dan oleh karena yang menjadi korban kerusakan ini adalah kalian, para wanita mulia dan beragama. Maka hendaklah kalian mengajak mereka agar bertakwa kepada Allah, bila mereka tidak mau bertaqwa, peringatkanlah mereka akan akibat yang buruk dari perzinaan seperti terjangkitnya suatu penyakit. Bila mereka masih membangkang maka beritahukan akan kenyataan yang ada, katakan kepada mereka : kalian adalah gadis-gadis remaja putri yang cantik, oleh karena itu banyak pemuda mendatangi kalian dan berebut di sekitar kalian, akan tetapi apakah keremajaan dan kecantikan itu akan kekal? Semua makhluk di dunia ini tidak ada yang kekal. Bagaimana kelanjutannya, bila kalian sudah menjadi nenek dengan punggung bungkuk dan wajah keriput? Saat itu, siapakah yang akan memperhatikan? Siapa yang akan simpati? Tahukah kalian, siapakah yang memperhatikan, menghormati dan mencintai seorang nenek? Mereka adalah anak dan para cucunya, saat itulah nenek tersebut menjadi seorang ratu ditengah rakyatnya. Duduk di atas singgasana dengan memakai mahkota, tetapi bagaimana dengan nenek yang lain, yang masih belum bersuami itu? Apakah kelezatan itu sebanding dengan penderitaan di atas? Apakah akibat itu akan kita tukar dengan kelezatan sementara? Dan berilah nasehat-nasehat yang serupa, saya yakin kalian tidak perlu petunjuk orang lain serta tidak kehabisan cara untuk menasehati saudari-saudari yang sesat dan patut di dikasihani. Bila kalian tidak dapat mengatasi mereka, berusahalah untuk menjaga wanita-wanita baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh, agar mereka tidak menempuh jalan yang salah. Saya tidak minta kalian untuk mengubah secara drastis mengembalikan wanita kini menjadi kepribadian muslimah yang benar, akan tetapi kembalilah ke jalan yang benar setapak demi setapak sebagaimana kalian menerima kerusakan sedikit demi sedikit. Perbaikan tersebut tidak dapat diatasi hanya dalam waktu sehari atau dalam waktu singkat, malainkan dengan kembali ke jalan yang benar dari jalan yang semula kita lewati menuju kejelekan walaupun jalan itu sekarang telah jauh, tidak menjadi soal, orang yang tidak mau menempuh jalan panjang yang hanya satu-satunya ini, tidak akan pernah sampai. Kita mulai dengan memberantas pergaulan bebas, (kalaupun) seorang wanita membuka wajahnya tidak berarti ia boleh bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Istri tanpa tutup wajah bukan berarti ia boleh menyambut kawan suami dirumahnya, atau menyalaminya bila bertemu di kereta, bertemu di jalan, atau seorang gadis menjabat tangan kawan pria di sekolah, berbincang-bincang, berjalan seiring, belajar bersama untuk ujian, dia lupa bahwa Allah menjadikannya sebagai wanita dan kawannya sebagai pria, satu dengan lain dapat saling terangsang. Baik wanita, pria, atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah, menyamakan dua jenis atau menghapus rangsangan seks dari dalam jiwa mereka. Mereka yang menggembor-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas kemajuan adalah pembohong dilihat dari dua sebab : Pertama : karena itu semua mereka lakukan untuk kepuasan pada diri mereka, memberikan kenikmatan-kenikmatan melihat angota badan yang terbuka dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi mereka tidak berani berterus terang, oleh karena itu mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan yang sama sekali tidak ada artinya, kemajuan, modernisasi, kehidupan kampus, dan ungkapan-ungkapan yang lain yang kosong tanpa makna bagaikan gendang. Kedua : mereka bohong oleh karena mereka bermakmum pada Eropa, menjadikan eropa bagaikan kiblat, dan mereka tidak dapat memahami kebenaran kecuali apa-apa yang datang dari sana, dari Paris, London, Berlin dan New york. Sekalipun berupa dansa, porno, pergaulan bebas di sekolah, buka aurat di lapangan dan telanjang di pantai (atau di kolam renang). Kebatilan menurut mereka adalah segala sesuatu yang datangnya dari timur, sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid, walapun berupa kehormatan, kemuliaan,, kesucian dan petunjuk. Kata mereka, pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi, mendidik watak dan dapat menekan libido seksual, untuk menjawab ini saya limpahkan pada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah-sekolah, seperti Rusia yang tidak beragama, tidak pernah mendengar para ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini setelah melihat bahwa hal ini amat merusak? Saya tidak berbicara dengan para pemuda, saya tidak ingin mereka mendengar, saya tahu, mungkin mereka menyanggah dan mencemoohkan saya karena saya telah menghalangi mereka untuk memperoleh kenikmatan dan kelezatan, akan tetapi saya berbicara kepada kalian, putri-putriku, wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara ketahuilah bahwa yang menjadi korban semua ini bukan orang lain kecuali engkau. Oleh karena itu jangan berikan diri kalian sebagai korban iblis, jangan dengarkan ucapan mereka yang merayumu dengan pergaulan yang alasannya, hak asasi, modernisme, emansipasi dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang yang terkutuk ini tidak beristri dan tidak memiliki anak, mereka sama sekali tidak peduli dengan kalian selain untuk pemuas kelezatan sementara. Sedangkan saya adalah seorang ayah dari empat gadis. Bila saya membela kalian, berarti saya membela putri-putriku sendiri. Saya ingin kalian bahagia seperti yang saya inginkan untuk putri-putriku. Sesungguhnya tidak ada yang mereka inginkan salain memperkosa kehormatan wanita, kemuliaan yang tercela tidak akan bisa kembali, begitu juga martabat yang hilang tidak akan dapat diketemukan kembali. Bila anak putri jatuh, tak seorangpun di antara mereka mau menyingsingkan lengan untuk membangunkannya dari lembah kehinaan, yang engkau dapati mereka hanya memperebutkan kecantikan si gadis, apabila telah berubah dan hilang, mereka pun lalu pergi menelantarkan, persisnya seperti anjing meninggalkan bangkai yang tidak tersisa daging sedikitpun. Inilah nasehatku padamu, putriku. Inilah kebenaran. Selain ini jangan percaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah, bukan di tangan kami kaum laki-laki, kunci pintu perbaikan. Bila mau perbaikilah diri kalian, dengan demikian umat pun kan menjadi baik. ( Kepada Putra-Putriku, Karya Ali Ath Thonthowi. Judul Asli : يا بنتي ويا ابني )

Ayah, Kembalikan Tangan Dita

Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya. Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya. Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah. Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?" hardik si isteri lagi. Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak. Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris. "Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?... Bagaimana Dita mau bermain nanti ?... Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, " katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf...Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi..., Namun...., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..?

Rabu, 14 September 2011

Deru Pesawat Terbang

Pernahkah kalian naik angkot, lantas tiba-tiba dgn senang hati sopir angkotnya bilang, "nggak usah bayar, dik. gratis hari ini?" Pernahkah kalian pergi ke kantor kades, lurah, ngurus KTP, lantas petugasnya sambil tersenyum bilang, "tunggu sebentar ya, 1 jam lagi KTP-nya pasti jadi." lantas sang petugas semangat betul mengurusnya, kesana-kemari, jadi, ketika mau diambil, mau ngasih uang lebih karena ihklas, si petugas sambil nyengir bilang, "maaf, tdk usah mbak, sudah kewajiban kami, kok." Pernahkah kalian ditilang polisi, lantas pak polisi hanya menepuk bahu, tersenyum, "besok jgn lupa helm-nya ya mas, ayo, silahkan jalan lagi." Pernahkah kalian bertemu dokter, berobat,diterima dgn senyum, dijelaskan dgn rinci, bahkan dia pandai sekali memberi tips agar sakit tak terulang, saat hendak membayar, "ini no hp saya ya, besok lusa kalau ada keluhan, nggak usah datang, sms atau telpon saja. kan repot jauh2 datang." Pernahkah kalian punya teman yg mau berbagi apa saja, punya tetangga yg baik dan suka mengirim makanan? Pernahkah…. Kemanakah pendidikan akhlak itu, yg tersisa hari ini adalah: sopir angkot galak mengejar setoran, petugas yg jangankan berpikir mengabdi, dokter dgn kepedulian terbatas, polisi yg lbh sering menyusahkan dibandingkan mengayomi, kawan yang sering mengajak kesia2an, tetangga yg kotor dan dengki hatinya.. Kemanakah akhlak mulia itu... maka jangan tanya pemimpin2 kita, jangan tanya org2 yg punya kekuasaan, acara2 di televisi, glamour orang menengah ke atas.. Di kehidupan yang mulia ini, mari kita meneguhkan hati, merapatkan barisan, kesempatan itu tetap ada, ketika generasi baru terlahirkan dgn akhlak cemerlang bagai mutiara... mari kita serbu rumah2 mereka, kamar2 mereka, ruang makan, ruang tamu... dengan teladan yang baik bagi anak2 mereka... maka ketika sekitar begitu rusaknya memberi teladan, semoga dgn teladan yg baik mereka terinspirasi sebuah kebaikan... sesuatu yg disebut akhlak mulia!!! Seperti deru pesawat terbang, membuat bergetar kolam tenang 30.000 kaki di bawahnya, membuat bergetar jendela2 rumah, begitulahkebaikan... membuat bergetar hati2 kita.
My Personal Ied Card

Ketika Ia Pergi

Seno, bocah kecil itu mungkin salah satu dari sekian anak yang menjadi korban emansipasi. Bagaimana tidak, mamanya seorang wanita karir dengan setumpuk kegiatan. Dan papanya seorang pengusaha yang lumayan sukses. Praktis mereka hanya bisa menyisakan (bukan memberikan) waktu untuk seno dihari libur. Itupun kalau memungkinkan… Meski begitu Seno yang baru berusia 4 tahun itu seolah mengerti. Ia tidak banyak menunutut, ia lebih asyik bermain dengan Mbok Yem dan mobil-mobilannya. Baginya ada atau tidak kedua orangtuanya tak ada bedanya. “Seno, mama dan Papa sedang sibuk. Kamu mengerti kan sayang?” Seno mengangguk. “Mama tinggal dulu ya sayang, nanti kalau pulang mama bawakan mainan baru lagi, ya? Seno kembali mengangguk. Setelah itu mamanya berangkat. Dari pagi ke pagi Seno selalu menatap kepergian mamanya tanpa ekspresi. Sebelumnya Mbok Yem pernah memberanikan diri bertanya pada mamanya “Nyonya apakah Seno tidak terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?” Dengan sigap mamanya berkata “Tenang saja Mbok, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK! Si Mbok merawat Seno dengan benar seperti yang saya inginkan, kan?” Mbok Yem mengangguk. ”Tapi Nyonya….” “Sudahlah Mbok, saya tahu yang terbaik unruk Seno. Si Mbok lakukan saja tugas si Mbok merawat Seno dan saya akan sangat berterimakasih kepada si Mbok.” “Baik Nyonya.” Jawab Mbok Yem ketika itu. Dan Seno-pun tumbuh dibawah kasih saying Mbok Yem. A menjadi anak yang lincah, cerdas dan mudah di ajak untuk mengerti. Ia jarang sekali ngambek, karena Mbok Yem, wanita setengah baya dari desa itu, telah menanamkan pengertian padanya. Namun pagi-pagi ini Seno tiba-tiba menangis. Ia tidak ingin dimandikan oleh Mbok Yem seperti biasanya. “Seno ingin dimandikan mama…”rengeknya dikamar mandi. Tentu saja, mamnya yang sangat sibuk, menolaknya secara halus. “Seno mama akan berangkat kekantor sekarang. Waktunya sudah sangat mendesak, belum lagi kalu nanti terjebak macet. Seno ngerti, kan?” ujar mamanya sambil memepersiapkan alat-alat kantornya. “Seno ingin dimandikan mama…” rengeknya lagi. Kali ini ayahnya turut membujuk, “Kamu tidak boleh begitu sayang. Mama sangat sibuk Tapi nanti kalo mama libur, pasti mama mau memandikan kamu seharian penuh. Bahkan kalau perlu mama juga pasti ga keberatan mengantarkan kamu ke kolam renang, betulkan Mam?” “Benar sayang, mama janji…” sahut mamanya sambil mengangguk. “tapi Seno ingin dimandikan mama…” Seno tak juga mengerti. “Seno, please ngertiin dong sayang. Mama pasti akan memandikanmu, tapi tidak hari ini, ya! Ujar mamnya membujuk. Kali ini sambil mengusap airmata Seno. “nah sekarang mama dan papa berangkatr ke kantor dulu ya.” Seno tak lagi menangis, ia menatap kepergian kedua orangtuanya dengan airmata yang tersisa. Pagi-pagi berikutnya kejadian itu terus berulang. Permintaan Seno untuk dimandikan mamanya kian hari kian terasa seperti tuntutan. Dan mamanya hanya bisa menghela nafas ketika suaminya berkata, “Tak perlu kau pusingkan mam. Anak kita masih terlalu kecil untuk diajak mengerti. Tapi lambat laun ia akan mengerti dengan sendirinya.” “Entah Pa, aku cuma tak tahan melihat air matanya. Sebagai seeorang ibu, aku merasa telah meninggalkannya terlalu jauh. Aku takut anak kita tak pernah bisa benar-benar memahami makna ibu.” “So, apa mama akan melepaskan pekerjaan dan kegiatan mama selama ini?” “Tentu saja tidak, Pa. Aku memulainya dari titik nol, dan teramat mahal jika aku harus melepaskannya begitu saja. Aku juga berfikir lambat laun Seno pasti akan mengerti apa yang kita lakukan ini semata-mata hanya untuknya. “ Begitulah, Mama dan Papanya kembali sibuk. Namun rengekan Seno yang minta dimandikan tak juga berhenti. Ia masih merengek setiap pagi, selama hamper seminggu. Sehingga suau siang Mamanya dikejutkan oleh dering handphone disakunya. “Nyonya….,” suara mbok Yem terdengar berat dan serak. “Ada apa mbok?” “Gawat nyonya……... gawat…” “tenang mbok…. Tenang. Ambil nafas dulu setelah itu katakan dengan jelas.” Terdengar mbok Yem menarik nafas, setelah itu suaranya kembali terdengar. “Gawat nyonya, Seno sakit, ulutnya berbusa dan sekarang saya sedang menungguinya diruang emergency rumah sakit.” “Apa !” Mamanya segera meluncur kerumah sakit. Utnunglah jalanan tidak terlalu macet. Sesampainy dirumah sakit ia segera menaiki anak tangga menuju ruang UGD. Tapui segalanya sudah terlambat, ia mendapati mbok Yem sedang menangis. “Dimana Seno Mbok?” “Nyonya….., “ sambil sesegukkan mbok Yem berlari memeluknya. “Mbok Yem dimana Seno…? Ujar mamanya merasa tak enak. Terdengar suara pintu terbuka dan seorang dokter keluar. “Nyonya Meri?” ujar dokter tersebut. “ya, saya” sahut mamanya. “Maafkan kami nyonya, segealnya begitu cepat terjadi. Dan tampaknya Tuhan telah memiliki rencana lain untuk anak nyonya.” Wanita karir itu tersungkur , seluruh persendiannya terasa hancur. Dan ia tak lagi bisa menahan tangis. “Seno…” ujarnya disamping tubuh mungil yang mulai kaku. “Ini mama sayang…., Mama akan memandikanmu sekarang…” ujarnya lagi sambil menahan airmata dihadapan para pelayat yang sunyi dirumahnya. Sementara papanya, hanya mematung memandang tubuh Seno dengan pandangan kosong. Dan Mbok Yem tak henti-henti melantunkan ayat suci, dengan bibir yang bergetar dan hati yang menyembunyikan tangis. “Tuhan, jika ada hikmah dalam setiap kejadian, kenapa hikmah itu harus aku bayar dengan sangat mahal? Seno, maafkan mama……” lirih mamahnya diatas tanah yang masih merah. Sementara langit mulai senja dan para pelayat mulai melangkah. Sementara sang ayah hanya mematung, menatap daun-daun kamboja yang berjatuhan. “Segala sesuatu memang harus pergi…” desisnya parau.

Senin, 12 September 2011

Nilai Kasih Ibu

Ini adalah mengenai Nilai kasih Ibu dari Seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.   OngKos upah membantu ibu: 1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp20.000 2) Menjaga adik Rp20.000 3) Membuang sampah Rp5.000 4) Membereskan Tempat Tidur Rp10.000 5) menyiram bunga Rp15.000 6) Menyapu Halaman Rp15.000 Jumlah : Rp85.000   Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.   1) OngKos mengandungmu selama 9bulan - GRATIS 2) OngKos berjaga malam karena menjagamu -GRATIS 3) OngKos air mata yang menetes karenamu - GRATIS 4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu - GRATIS 5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu - GRATIS 6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu - GRATIS Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS   Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, "Saya Sayang Ibu".Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang ditulisnya: "Telah Dibayar" .     APAKAH KAMU SAYANG ORANGTUAMU???? KARENA ORANGTUAMU SELALU MENYAYANGIMU.   MOTHER IS THE BEST SUPER HERO IN THE WORLD.

Haru Lebaran

Banyak soal membuat haru hatiku saat lebaran tiba. Misalnya penjaga masjid di kampungku yang selalu menunda pulang mudiknya karena harus menyelengarakan bermacam-macam kegiatan. Mulai dari memimpin anak-anak takbir keliling kampung di malam hari sampai menyiapkan perlengkapan shalat Idul Fitri di esok hari. Maka ketika kampung telah sepi, ia masih harus mengepel lantai, menggulung karpet dan memunguti koran-koran bekas untuk alas shalat. Wahai koran bekas itu betapa banyaknya. Padahal jika setiap pembawa itu membawa kembali korannya, gulungan kotoran itu tak akan ada. Tapi beginilah tabiat kita ini, sambil beribadah pun bisa sekaligus berbuat dosa. Jelas sekali, kenapa ada jenis peribadatan yang rendah saja pengaruhnya bagi perbaikan kelakuan. Kita tetap di sini, seperti ini, tak ada yang berubah juga. Kita adalah pribadi yang sama dengan yang kemarin, yang berani menebar kekotoran tanpa berani membersihkan. Itulah kenapa WC umum selalu buruk mutunya. Masih saja ada orang yang berani buang air kecil tapi tak berani mengguyur. Makanya di WC-WC umum itu, hingga di hari ini, masih saja anjuran yang sebetulnya menghina martabat kita: habis buang air kecil harap diguyur! Jelas anjuran itu pasti akibat dari banyaknya pembuang air kecil yang lupa mengguyur bahkan najisnya sendiri. Itulah kecurigaan saya kenapa Indonesia ini lambat sekali menjadi negara yang sehat. Karena kesehatan itu cuma baru bisa terjadi, jika setiap dari kita sudah sama-sama menjadi pembela kepentingan bersama. Padahal sedang kita lihat, penghancuran kebersamaan itu tengah berlangsung di mana-mana. Soal-soal yang menyangkut tentang keadilan umum kesejahteraan umum, dan ketenteraman bersama sedang ada di titik rendahnya. Sementara yang menyangkut tentang keadilan pribadi, kesejahteraan pribadi dan keadilan pribadi sedang berada di titik tertinggi.  Padahal ini tidak mungkin. Karena jika orang membangun ketinggian sambil merendahkan yang lain, ia sesungguhnya sedang berada dalam bahaya. Jika seseorang membangun keluasan sambil menyempitkan pihak lain, sesungguhnya ia tengah bersiap untuk celaka. Jika keseimbangan alam ini terganggu, ia akan meminta keseimbangan itu kembali. Dan jika ini sudah terjadi, tak akan ada kekuatan yang bisa menghalangi. Siapa saja, akan dilumatnya. Tetapi baiklah. Di tengah pameran ego-ego pribadi itu, marilah kita pungut sisa-sisa yang masih ada, soal-soal yang mengharukan hati kita, setidaknya hatiku ini. Biar ia menjadi sedikit penentram dan menerbitkan lagi kerindukan kita atas pentingnya kebersamaan. Di antara sederet soal yang bikin haru itu adalah HP tuaku. Ia tampak terengah-engah menerima berondongan SMS yang terlalu deras untuk ukuran usianya. Sebentar-sebentar HP ini sudah berteriak bahwa ia tak kuat lagi.  Satu-satu ia saya buangi agar bisa menerima SMS lagi. Bukan pekerjaan yang mudah, karena sambil membuang, aku sempatkan untuk membalasnya, dengan sentuhan pribadi. Bukan SMS generik, yang sekali bikin bisa dikirim untuk seluruh umat di jagat raya. Aku tahu pentingnya menyebut nama-nama, menempatkan mereka sebagai pribadi istimewa di hatiku. Aku mengerti hebohnya perasaan pihak yang dihargai. Jika cuma berpikir tentang mode, tentang ketuaan dan tentang gaya, rasanya HP ini sudah layak aku campakkan, karena bahkan anak saya pun enggan menerimanya. ‘'Itu HP abad Flindstone,'' katanya. Tetapi setiap hendak saya tinggalkan benda ini, entah kenapa saya selalu teringat logika poligami. Banyak orang menyakiti istri pertama yang begitu besar jasanya cuma karena ia telah peot dan tua. Maka selama ia masih bisa bersuara dan masih terlihat hurufnya, biarlah ia menjadi teman hidup saya.