Rabu, 14 September 2011

Ketika Ia Pergi

Seno, bocah kecil itu mungkin salah satu dari sekian anak yang menjadi korban emansipasi. Bagaimana tidak, mamanya seorang wanita karir dengan setumpuk kegiatan. Dan papanya seorang pengusaha yang lumayan sukses. Praktis mereka hanya bisa menyisakan (bukan memberikan) waktu untuk seno dihari libur. Itupun kalau memungkinkan… Meski begitu Seno yang baru berusia 4 tahun itu seolah mengerti. Ia tidak banyak menunutut, ia lebih asyik bermain dengan Mbok Yem dan mobil-mobilannya. Baginya ada atau tidak kedua orangtuanya tak ada bedanya. “Seno, mama dan Papa sedang sibuk. Kamu mengerti kan sayang?” Seno mengangguk. “Mama tinggal dulu ya sayang, nanti kalau pulang mama bawakan mainan baru lagi, ya? Seno kembali mengangguk. Setelah itu mamanya berangkat. Dari pagi ke pagi Seno selalu menatap kepergian mamanya tanpa ekspresi. Sebelumnya Mbok Yem pernah memberanikan diri bertanya pada mamanya “Nyonya apakah Seno tidak terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?” Dengan sigap mamanya berkata “Tenang saja Mbok, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK! Si Mbok merawat Seno dengan benar seperti yang saya inginkan, kan?” Mbok Yem mengangguk. ”Tapi Nyonya….” “Sudahlah Mbok, saya tahu yang terbaik unruk Seno. Si Mbok lakukan saja tugas si Mbok merawat Seno dan saya akan sangat berterimakasih kepada si Mbok.” “Baik Nyonya.” Jawab Mbok Yem ketika itu. Dan Seno-pun tumbuh dibawah kasih saying Mbok Yem. A menjadi anak yang lincah, cerdas dan mudah di ajak untuk mengerti. Ia jarang sekali ngambek, karena Mbok Yem, wanita setengah baya dari desa itu, telah menanamkan pengertian padanya. Namun pagi-pagi ini Seno tiba-tiba menangis. Ia tidak ingin dimandikan oleh Mbok Yem seperti biasanya. “Seno ingin dimandikan mama…”rengeknya dikamar mandi. Tentu saja, mamnya yang sangat sibuk, menolaknya secara halus. “Seno mama akan berangkat kekantor sekarang. Waktunya sudah sangat mendesak, belum lagi kalu nanti terjebak macet. Seno ngerti, kan?” ujar mamanya sambil memepersiapkan alat-alat kantornya. “Seno ingin dimandikan mama…” rengeknya lagi. Kali ini ayahnya turut membujuk, “Kamu tidak boleh begitu sayang. Mama sangat sibuk Tapi nanti kalo mama libur, pasti mama mau memandikan kamu seharian penuh. Bahkan kalau perlu mama juga pasti ga keberatan mengantarkan kamu ke kolam renang, betulkan Mam?” “Benar sayang, mama janji…” sahut mamanya sambil mengangguk. “tapi Seno ingin dimandikan mama…” Seno tak juga mengerti. “Seno, please ngertiin dong sayang. Mama pasti akan memandikanmu, tapi tidak hari ini, ya! Ujar mamnya membujuk. Kali ini sambil mengusap airmata Seno. “nah sekarang mama dan papa berangkatr ke kantor dulu ya.” Seno tak lagi menangis, ia menatap kepergian kedua orangtuanya dengan airmata yang tersisa. Pagi-pagi berikutnya kejadian itu terus berulang. Permintaan Seno untuk dimandikan mamanya kian hari kian terasa seperti tuntutan. Dan mamanya hanya bisa menghela nafas ketika suaminya berkata, “Tak perlu kau pusingkan mam. Anak kita masih terlalu kecil untuk diajak mengerti. Tapi lambat laun ia akan mengerti dengan sendirinya.” “Entah Pa, aku cuma tak tahan melihat air matanya. Sebagai seeorang ibu, aku merasa telah meninggalkannya terlalu jauh. Aku takut anak kita tak pernah bisa benar-benar memahami makna ibu.” “So, apa mama akan melepaskan pekerjaan dan kegiatan mama selama ini?” “Tentu saja tidak, Pa. Aku memulainya dari titik nol, dan teramat mahal jika aku harus melepaskannya begitu saja. Aku juga berfikir lambat laun Seno pasti akan mengerti apa yang kita lakukan ini semata-mata hanya untuknya. “ Begitulah, Mama dan Papanya kembali sibuk. Namun rengekan Seno yang minta dimandikan tak juga berhenti. Ia masih merengek setiap pagi, selama hamper seminggu. Sehingga suau siang Mamanya dikejutkan oleh dering handphone disakunya. “Nyonya….,” suara mbok Yem terdengar berat dan serak. “Ada apa mbok?” “Gawat nyonya……... gawat…” “tenang mbok…. Tenang. Ambil nafas dulu setelah itu katakan dengan jelas.” Terdengar mbok Yem menarik nafas, setelah itu suaranya kembali terdengar. “Gawat nyonya, Seno sakit, ulutnya berbusa dan sekarang saya sedang menungguinya diruang emergency rumah sakit.” “Apa !” Mamanya segera meluncur kerumah sakit. Utnunglah jalanan tidak terlalu macet. Sesampainy dirumah sakit ia segera menaiki anak tangga menuju ruang UGD. Tapui segalanya sudah terlambat, ia mendapati mbok Yem sedang menangis. “Dimana Seno Mbok?” “Nyonya….., “ sambil sesegukkan mbok Yem berlari memeluknya. “Mbok Yem dimana Seno…? Ujar mamanya merasa tak enak. Terdengar suara pintu terbuka dan seorang dokter keluar. “Nyonya Meri?” ujar dokter tersebut. “ya, saya” sahut mamanya. “Maafkan kami nyonya, segealnya begitu cepat terjadi. Dan tampaknya Tuhan telah memiliki rencana lain untuk anak nyonya.” Wanita karir itu tersungkur , seluruh persendiannya terasa hancur. Dan ia tak lagi bisa menahan tangis. “Seno…” ujarnya disamping tubuh mungil yang mulai kaku. “Ini mama sayang…., Mama akan memandikanmu sekarang…” ujarnya lagi sambil menahan airmata dihadapan para pelayat yang sunyi dirumahnya. Sementara papanya, hanya mematung memandang tubuh Seno dengan pandangan kosong. Dan Mbok Yem tak henti-henti melantunkan ayat suci, dengan bibir yang bergetar dan hati yang menyembunyikan tangis. “Tuhan, jika ada hikmah dalam setiap kejadian, kenapa hikmah itu harus aku bayar dengan sangat mahal? Seno, maafkan mama……” lirih mamahnya diatas tanah yang masih merah. Sementara langit mulai senja dan para pelayat mulai melangkah. Sementara sang ayah hanya mematung, menatap daun-daun kamboja yang berjatuhan. “Segala sesuatu memang harus pergi…” desisnya parau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar