Senin, 07 November 2011

We are Not Presioners

Coba dan bayangin, seandainya waktu nggak berjalan, seandainya jarum jam dinding nggak berputar, apa yang terjadi? Mungkin kamu membayangkan sesuatu yang seram, seperti kiamat. Atau mungkin kamu juga sulit membayangkan karena begitu banyak prediksi-prediksi yang melintas di otakmu. Atau mungkin juga kamu nggak membayangkannya sama sekali. Banyak kemungkinan atau jawaban yang terlontar. Tapi bagi Ari, jawabannya sederhana: “Kita tidak lagi perlu susah payah ngapalin pelajaran sejarah!”. “Tanpa waktu, nggak ada yang namanya masa lalu, masa sekarang atau masa depan. Nggak ada lagi yang namanya kenangan, nggak ada pelajaran sejarah, antropologi, arkeologi, juga nggak ada lagi orang yang cemas mikirin masa depan. Yang jelas lagi, nggak ada pengangguran yang suka ngaku-ngaku tukang ramal.” Begitu pikirannya. Ari memang suka berpikir nyeleneh, suka ngaduk-ngaduk pikiran orang dengan pertanyaan atau pernyataan yang aneh. Karena itu pula banyak teman-temannya memanggil Ari dengan nama ‘Ari bocor’. Pernah waktu ulangan bahasa Indonesia, pada pertanyaan ‘apa makna dari kata kami dan kita?’ Ari menjawab: dua kata tersebut tidak memiliki makna apa-apa. Keduanya hanya kata-kata yang kosong tanpa makna. Tapi manusialah yang memberi makna pada kata-kata itu. Terus waktu ulangan kimia, karena nggak bisa menjawab pertanyaan yang rumit itu, Air pun menulis: ‘Hanya tuhan yang tahu jawaban soal ini.’ Celakanya, ketika hasil ulangan itu diberikan, Ari mendapatkan pesan dari guru yang menulis persis dibawah jawabannya, bunyinya: Dan hanya tuhan yang tahu nilai kamu. Kenakalan Ari memang sudah tersebar luas dilingkungan sekolah. Tidak hanya teman-temannya, bahkan para guru pun menilai Air murid yang aneh sekaligus super kritis. Misalnya waktu upacara bendera, Ari menolak mengikuti upacara tersebut. Akibatnya, Ari pun dijewer pak guru dan dibawa keruang BK (bimbingan konseling). Diruang itu, pak guru yang bijak itu bertanya, ”Kenapa kamu nggak mau mengikuti upacara bendera?” Ari, sambil takut-takut, bertanya, “Bukan saya tidak ingin mengikuti upacara bendera itu, pak. Hanya saja, upacara yang dilakukan setiap hari senin kurang mendidik. Apakah yang berdiri tegak dan sebelah tangan menghormat kepada bendera, merupakan jaminan kesetiaan kita pada Negara?” Untunglah pak guru adalah seorang yang bijak. Ari pun ‘DIBEBASKAN’. Tapi itu belum seberapa. Ari pernah mengirimkan pesan di dinding dalam segmen DU-DU (dari untuk, dari untuk). Isinya, dari: Gugun, untuk: Kepala Sekolah, DU: WE ARE NOT PRESIONERS (kami bukan tahanan). Ari langsung ‘diciduk’ dari kelasnya untuk menghadap kepala sekolah. “Apa maksud kamu menulis pesan tersebut di dinding?” bentak kepala sekolah sambil melotot. Ari menunduk, jari-jarinya terasa bergetar. “Kenapa diam? Kamu menulis itu bukan karena iseng, kan?” “Bukan, pak.” Jawab Ari takut-takut. “Lantas kenapa?” “Hmmmm.” Ari mengangkat sedikit wajahnya. “Sebenarnya saya cuma tidak suka kalau bapak terlalu banyak memberikan peraturan disekolah ini. Sebelumnya bapak memberikan peraturan bahwa anak-anak harus memakai sepatu berwarna hitam, setelah itu kami juga dilarang memakai kaos kaki selain yang warnanya putih. Setelah itu, apa bapak akan memberi peraturan yang mengharuskan kami mengikat sepatu dengan cara seperti yang bapak tentukan?” “Peraturan itu bapak ambil supaya kalian semua bisa rapih dan berdisiplin.” Tegas kepala sekolah. “Tapi disiplin dalam tingkat tertentu justru membuat sekolah ini seperti militer. Dan bapak, kan tahu sendiri bahwa militer cenderung otoriter, saya rasa itu hanya akan mematikan kreativitas. Lalu dengan sepatu dan kaos kaki yang sama apakah membuktikan bahwa seseorang memiliki rasa disiplin yang tnggi? Lagi pula, bukankah dalam pancasila tertulis Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu juga, pak?” Kepala sekolah pun berang. Ari disuruh berdiri dilapangan upacara hingga hari itu selesai. Sementara, kepala sekolah diam-diam tercekat pada alasan Ari tadi. Dan esok paginya tertera pengumuman yang ditulis dengan huruf-huruf besar: "Mulai hari ini siswa bebas memakai sepatu dan kaos kaki berwarna selain hitam dan putih". Tapi, tau nggak kepala sekolah, meski kagum sama sikap Ari, beliau tetap menghukum Ari? Jawabannya: untuk menjaga wibawa kepala sekolah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar